Jumat, 22 Maret 2013

Berprasangka Baik kepada Allah

Ini kisah tentang seorang ayah dan anak. Sang
ayah bekas budak. Selama menjadi budak,
libur Jumat sebagaimana ditetapkan kesultanan
dimanfaatkan untuk habis-habisan bekerja.
Dengan dirham demi dirham yang terkumpul,
satu hari dia minta izin untuk menebus dirinya
pada sang majikan. “Tuan”, ujarnya, “Apakah
dengan membayar harga senilai dengan
berapa engkau membeliku dulu, aku akan
bebas?”. “Ya. Bisa” ujar sang majikan. “Baik, ini
dia.” katanya sambil meletakkan bungkusan
uang itu di hadapan tuannya. “Allah ‘Azza wa
Jalla telah membeliku dari Anda, lalu Dia
membebaskanku. Alhamdulillah. “Maka engkau
bebas karena Allah”, ujar sang tuan tertakjub.
Dia bangkit dari duduknya dan memeluk sang
budak. Dia hanya mengambil separuh harga
yang tadi disebutkan. Separuh lagi
diserahkannya kembali. “Gunakanlah ini,”
katanya berpesan, “Untuk memulai kehidupan
barumu sebagai orang yang mereka. Aku
berbahagia menjadi sebagian Tangan Allah
yang membebaskanmu!” Penuh syukur dan
haru, tapi aku disergap khawatir, dia pamit.
“Aku tidak tahu wahai Tuanku yang baik,”
ucapnya dengan mata berkaca-kaca, “Apakah
kebebasan ini rahmat ataukah musibah. Aku
hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah.
Tetapi sang istri meninggal ketika
menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan
susuan sang putra hingga usia dua tahun. Maka
dibesarkan putera semata wayangnya itu
dengan penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu
untuk memahami agama dan menjalankan
sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan
berjiwa merdeka. “Anakku,” katanya di suatu
pagi, “Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu
ini separuh manusia di mata agama dan
sesama. Tetapi selalu kujaga kehormatan dan
kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan
membebaskanku. Dan jadilah kita orang yang
merdeka. Ketahuilah Nak, orang bebas yang
paling merdeka adalah dia yang bisa memilih
caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!” Sang
anak mengangguk-angguk. Sang ayah
mengeluarkan kantong berpelisir emas. Dinar-dinar di dalamnya bergemerincing. “Mari
mempersiapkan diri,” bisiknya. “Mari kita beli
yang terbagus dengan harta ini untuk
dipersembahkan dalam jihad di jalanNya. Mari
kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita
pada kesyahidan dengan sebaik-baik
tunggangan.”

Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan
menuntun seekor kuda perang berwarna
hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar
menjumbai. Tampangnya mengagumkan.
Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam.
Kakiknya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti
membuat kuda musuh bergidik. Semua
tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka
menyentuhnya, mengelus surainya. “Kuda yang
hebat!” kata mereka. “Kami belum pernah
melihat kuda seindah ini. Luar Biasa! Mantap
sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk
membeli kuda ini?” Anak beranak itu tersenyum
simpul. Yah, itulah simpanan yang dikumpulkan
seumur hidup. Para tetangga ternganga
mendengar jumlahnya. “Wah”, seru mereka,
“Kalian masih waras atau sudah gila? Uang
sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda?
Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh.
Untuk makan besok pun belum tentu ada!”
Kekaguman di awal tadi berubah menjadi
cemooh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!”
ujar yang lain. “Pandir!” “Kami tak tahu, ini
rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka
baik kepada Allah,” ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun
merawat kudanya dengan penuh cinta.
Makanan si kuda dijamin kelengkapannya;
rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak,
air segar, kadang bahkan ditambah madu. Si
kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah
tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak hanya
berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama
menanti panggilan Allah ke medan jihad untuk
menjemput takdir terindah. Sepekan berlalu. Di
sebuah pagi buta ketika sang ayah melongok ke
kandang, dia tak melihat apapun. Kosong.
Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu
terkoyak remuk. Kuda itu hilang! Berduyun-duyun para tetangga datang untuk
mengucapkan bela sungkawa. Mereka
bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu.
Tapi mereka juga menganggap keduanya
kelewatan. “Ah, sayang sekali!” kata mereka,
“Padahal itu kuda terindah yang pernah kami
lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu
hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi
kalian, lalu Allah membebaskannya dan
mengandaskan cita-cita kalian!” Sang ayah
tersenyum sambil mengelus kepala anaknya.
“Kami tak tahu,” ucap serempak keduanya, “Ini
rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba untuk
menghitung-hitung uang dan mengira-ngira,
kapan bisa membeli kuda lagi. “Nak,” sang ayah
menatap putranya, “Dengan atau tanpa kuda,
jika panggilan Allah datang, kita harus
menyambutnya.” Si anak mengangguk mantap.
Mereka kembali bekerja tekun seakan tak
terjadi apapun. Tiga hari kemudian, saat
shubuh menjelang, kandang kuda mereka
gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu
berlari ke akndang sambil membenahi
pakaiannya. Di kandang itu mereka temukan
kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak
salah lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa
pamit tiga hari lalu! Tapi kuda itu tak sendiri.
Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda
liar! itu pasti kawan-kawannya. Mereka datang
dari stepa luas untuk bergabung di kandang si
hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih?
Mungkinkah si hitam yang merasa
mendapatkan layanan terbaik di kandang
seorang bekas budak mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka
bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap
bertaruh nyawa untuk kemuliaan agama Allah,
kelak jka panggilanNya berkumandang? Atau
memang itu yang mereka inginkan? Ketika hari
terang, para tetangga datang dengan takjub.
“Luar biasa!” kata mereka. “Kuda itu pergi untuk
memanggil kawan-kawannya dan kini kembali
membawa mereka menggabungkan diri!”
Mereka semua mengucapkan selamat pada
pemiliknya. “Wah, kalian sekarang kaya raya!
Kalian orang terkaya di kampung ini!” Tapi si
pemilik kembali hanya tersenyum. “Kami tak
tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra
mencoba menaiki salah seekor kuda itu.
Sukacita dia memacunya ke segala penjuru.
Satu saat, kuda liar itu terkejut ketika
berpapasan dengan seekor lembu yang lepas
dari kandang di persimpangan. Dia meronta
keras, dan sang penunggang terbanting.
Kakinya patah. Dia meringis kesakitan. Para
tetangga datang menjenguk. Mereka menatap
anak itu dengan pandangan penuh iba. “Kami
turut prihatin” kata mereka. “Ternyata kuda itu
tidak membawa berkah. Mereka datang
membawa musibah. Alangkah lebih beruntung
yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat
sentausa!” Tuan tumah tersenyum lagi. “Kami
tak tau, ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling
negeri. Dia mengumumkan pengerahan
pasukan untuk menghadapi tentara musuk
yang telah menyerang perbatasan. Semua
penduduk yang sehat jasmani dan rohani wajib
bergabung untuk mempertahankan negeri.
Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad
di jalan Allah karena musuk yang hendak
dihadapi adalah sesama Muslim. Mereka hanya
berbeda kesultanan. “Nak,” bisik sang ayah ke
telinga sang putra yang terbaring tak berdaya,
“Semoga Allah menjaga kita dari
menumpahkan darah sesama Muslim. Allah
Maha Tahu, kita ingin berjihad di jalanNya. Kita
sama sekali tak hendak beradu senjata dengan
orang-orang beriman. Semoga Allah
membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka
berpelukan. Petugas pendaftaran mendatangi
tiap rumah dan membawa para pemuda yang
memenuhi syarat. Saat memasuki rumah ayah
dan anak pemilik kuda, mereka mendapai
putranya terbaring di tempat tidur dengan kaki
terbebat, disangga kayu dan dibalut kain. “Ada
apa dengannya?” “Tuan prajurit,” kata sang
ayah, “Anak saya ini begitu ingin membela
negeri dan dia telah berlatih untuk itu. Tetapi
kemudian dia jatuh dari kuda ketika sedang
mencoba menjinakkan kuda liar kami. Kakinya
patah.” “Ah, sayang sekali!” kata Sang
Hulubalang. “Padahal kulihat dia begitu gagah.
Dia pasti akan menjadi seorang prajurit
tangguh. Tapi baiklah. Dia tak memenuhi
syarat. Maafkan aku, aku tak bisa
mengikutsertakannya!” Dan hari itu, para
tetangga yang ditinggal pergi putra-putranya
menjadi prajutit mendatangi si pemilik kuda.
“Ah, nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan
anak-anak lelaki kami, tumpuan harapan
keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu
apakah mereka akan kembali atau tidak.
Sementara putramu tetap bisa di rumah karena
patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah
menyayangi kalian!” Tuan rumah ikut bersedih
melihat mendung di wajah-wajah itu. Kali ini
bapak dan anak itu tak tersenyum. Tapi ucapan
mereka kembali bergema, “Kami tak tahu, ini
rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan
para ibu dan isak tangis para istri. Sementara
para lelaki hanya termangu dan tergugu.
Kabarnya telah jelas. Semua pemuda yang
diberangkatkan perang tewas di medan
tempur. Tapi agaknya para warga telah belajar
banyak dari ayah beranak pemilik kuda.
Seluruh penduduk kota kini menggumamkan
kalimat indah itu. “Kami tak tahu ini rahmat
atau musibah. Kami hanya berprasangka baik
kepada Allah.” Singkat cerita, tak berapa lama
kemudian panggilan jihad yang sebenarnya
bergema. Pasukan Mongol dipimpin Hulagu
Khan menyerbu wilayah Islam dan
membumihanguskannya hingga rata dengan
tanah. Orang-orang tak berperikemanusiaan itu
mengalir bagai air bah meluluhlantahkan
peradaban. Ayah dan anak itu pun
menyongsong janjinya. Mereka bergegas
menyambut panggilan dengan kalimat
agungnya, “Kami tak tahu, ini rahmat atau
musibah. Kami hanya berprasangka baik
kepada Allah!” Mereka memang menemui
syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat
yang Allah karuniakan kepada mereka untuk
dirasai.
(Disadur dari buku “Dalam Dekapan Ukhuwah”, Salim A. Fillah)

0 komentar: