Selasa, 14 Januari 2014

KETIKA PERNIKAHAN AKTIVIS DA’WAH TIDAK LAGI BERTUAH

Membaca kembali kiriman tulisan yang dibuat oleh Kak Momok dulu saat masih di Palembang sebagai bahan introspeksi. Mencoba membagi tulisan yang sarat sindiran atas fenomena yang terjadi saat ini.

Era keterbukaan yang kini dilalui oleh da’wah otomatis memiliki sejumlah implikasi bagi bangunan da’wah. Ada yang bersifat positif seperti semakin terbukanya peluang da’wah si ranah politik tetapi ada juga yang bernilai negatif. Fenomena futur massal, dengan segala tingkatannya, secara emosional yang diungkap oleh buku ”Agar Futur tidak Mewabah” salah satu contohnya.
                Yang menarik, dalam buku itu dikatakan bahwa salah satu bentuk futur yang terjadi adalah terjadinya pelonggaran dalam praktik pernikahan (taasahul fii ’amaalul munakahat) para aktifis da’wah dengan segala bentuknya.
                Dan realitas di lapangan membenarkan analisa buku yang konon berasal dari penelitian para asatidz da’wah tersebut. Entah sejak kapan & apa sebabnya, di kalangan aktifis da’wah mulai terbiasa melakukan pelonggaran-pelonggaran dalam masalah pernikahan ini. Mulai dengan mudahnya kita temukan para aktifis da’wah yang menikah tanpa mekanisme syuro, bergesernya parameter mencari pasangan hidup menjdi fisik-an sich, walimatul ’ursy yang mulai melupakan Sunnah & tidak menjadikannya sebagai sarana syiar islam, sampai maraknya pacaran ala aktifis da’wah yang lebih ngetrend disebut wabah Virus Merah Jambu.
                Menurut hemat penulis, secara umum ada dua faktor pemicu terjadinya fenomena pelonggaran dalam praktik pernikahan (taasahul fii ’amaalul munakahat) ini. Yang pertama, mulai menjangkitnya paham materialisme di kalangan aktifis da’wah sebagai ekese negatif dari semakin besarnya interaksi da’wah dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat umum yang terkadang masih bersifat jahiliyah. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya imunitas komunal yang dibangun dalam kafilah da’wah ini.
                Sebagai bukti penjelasan di atas, sekarang para aktifis da’wah, bahkan kadang-kadang ditemukan hal ini dilakukan oleh para kader yang dikenal senior, ramai-ramai menjadikan materi sebagai parameter mencari istri atau suami, baik materi yang terbentuk harta, kekayaan & popularitas maupun yang berwujud fisik & penampilan, seperti wajah, warna kulit, bentuk tubuh. Walimatul ’ursy pun sekarang hanya dijadikan ajang untuk menunjukkan status sosial keluarga & aktifis da’wah bersangkutan dengan melupakan tujuan utamanya sebagai sarana syiar Islam membuat apa-apa yang dulu pernah ditemukan penulis dalam Risalah Pernikaham yang biasanya dibagikan dalam setiap resepsi pernikahanaktifis da’wah tinggal utopia saja. Contoh kecilnya adalah sudah jarangnya-jika tak ingin dikatakn tidak pernah sama sekali-kita temukan dalam pernikahan para aktifis da’wah mengundang yatim piatu sebagaimana yang disunnahkan Rasulullah Saw. Atau mulai bercampuraduknya hiburan pada walimahan seorang aktifis da’wah, bukan hanya nasyid tapi juga nyanyian yang mngumbar aurat & nafsu dengan alasan menghormati kebiasan masyarakat stempat.