Membaca kembali kiriman tulisan yang dibuat oleh Kak Momok dulu saat masih di Palembang sebagai bahan introspeksi. Mencoba membagi tulisan yang sarat sindiran atas fenomena yang terjadi saat ini.
Era keterbukaan yang kini dilalui oleh da’wah otomatis memiliki sejumlah
implikasi bagi bangunan da’wah. Ada yang bersifat positif seperti semakin
terbukanya peluang da’wah si ranah politik tetapi ada juga yang bernilai
negatif. Fenomena futur massal, dengan segala tingkatannya, secara emosional
yang diungkap oleh buku ”Agar Futur tidak
Mewabah” salah satu contohnya.
Yang menarik, dalam buku itu
dikatakan bahwa salah satu bentuk futur yang terjadi adalah terjadinya
pelonggaran dalam praktik pernikahan (taasahul
fii ’amaalul munakahat) para aktifis da’wah dengan segala bentuknya.
Dan realitas di lapangan
membenarkan analisa buku yang konon berasal dari penelitian para asatidz da’wah
tersebut. Entah sejak kapan & apa sebabnya, di kalangan aktifis da’wah mulai
terbiasa melakukan pelonggaran-pelonggaran dalam masalah pernikahan ini. Mulai
dengan mudahnya kita temukan para aktifis da’wah yang menikah tanpa mekanisme
syuro, bergesernya parameter mencari pasangan hidup menjdi fisik-an sich, walimatul ’ursy yang mulai melupakan Sunnah & tidak
menjadikannya sebagai sarana syiar islam, sampai maraknya pacaran ala aktifis
da’wah yang lebih ngetrend disebut
wabah Virus Merah Jambu.
Menurut hemat penulis, secara
umum ada dua faktor pemicu terjadinya fenomena pelonggaran dalam praktik
pernikahan (taasahul fii ’amaalul munakahat) ini. Yang pertama, mulai menjangkitnya paham materialisme di kalangan
aktifis da’wah sebagai ekese negatif dari semakin besarnya interaksi da’wah
dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat umum yang terkadang masih
bersifat jahiliyah. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya imunitas
komunal yang dibangun dalam kafilah da’wah ini.
Sebagai bukti penjelasan di
atas, sekarang para aktifis da’wah, bahkan kadang-kadang ditemukan hal ini
dilakukan oleh para kader yang dikenal senior, ramai-ramai menjadikan materi
sebagai parameter mencari istri atau suami, baik materi yang terbentuk harta,
kekayaan & popularitas maupun yang berwujud fisik & penampilan, seperti
wajah, warna kulit, bentuk tubuh. Walimatul
’ursy pun sekarang hanya dijadikan ajang untuk menunjukkan status sosial
keluarga & aktifis da’wah bersangkutan dengan melupakan tujuan utamanya
sebagai sarana syiar Islam membuat apa-apa yang dulu pernah ditemukan penulis
dalam Risalah Pernikaham yang biasanya dibagikan dalam setiap resepsi
pernikahanaktifis da’wah tinggal utopia saja. Contoh kecilnya adalah sudah
jarangnya-jika tak ingin dikatakn tidak pernah sama sekali-kita temukan dalam pernikahan
para aktifis da’wah mengundang yatim piatu sebagaimana yang disunnahkan
Rasulullah Saw. Atau mulai bercampuraduknya hiburan pada walimahan seorang
aktifis da’wah, bukan hanya nasyid tapi juga nyanyian yang mngumbar aurat &
nafsu dengan alasan menghormati kebiasan masyarakat stempat.